Selasa, 04 Oktober 2011

Konsep Spiritual Lansia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang menganut dan mengakui faham Ketuhanan. Sikap ini tercermin dari rumusan konstitusi dasar negara Pancasila, dalam pernyataan sila pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa. Telah dipahami bersama bahwa Dasar Negara Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Pernyataan tersebut mengandung arti, semua peraturan perundangan yang ada di Indonesia harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengannya. Konsekwensi dari sikap konstitusional itu diantaranya adalah semua penduduk di Indonesia wajib berketuhanan dan dilarang berkembangnya ateisme. Klien adalah anggota masyarakat yang merupakan bagian dari penduduk baik dalam skala nasional (klien sebagai bagian dari penduduk suatu negara) maupun dalam skala global (klien sebagai bagian dari penduduk dunia).
Klien dalam perspektif keperawatan seperti dikemukakan Henderson (2006) merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah kesehatan dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan status kesehatannya. Sebagai manusia, klien selain sebagai mahluk individu, juga merupakan mahkuk sosial dan mahluk Tuhan. Berdasarkan hakikat manusia itu, maka keperawatan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek biologis (fisiologis), psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual. Hal ini seperti di nyatakan Xiaohan (2005) bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas fisiologis (physiological), psikologis (psychological), sosial (social), spiritual (spiritual), dan kultural (cultural). Hal serupa dikemukakan Dossey & Dossey (1998), Govier (2000), dan Stoter (1995) dalam Govier (2000) yang menyatakan bahwa manusia merupakan mahluk unik dan kompleks yang terdiri atas berbagai dimensi. Dimensi yang komprehensif pada manusia itu meliputi dimensi biologis (fisik), psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Dalam kata lain, Makhija (2002) mendeskripsikan bahwa tiap individu manusia adalah mahluk yang holistik yang tersusun atas body, main dan spirit. Beberapa pandangan pakar di atas, sesungguhnya memiliki esensi yang sama bahwa manusia adalah mahluk unik yang utuh menyeluruh, yang tidak saja terdiri atas aspek fisik, melainkan juga psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu saja diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural atau dimensi body, main dan spirit merupakan satu kesatuan yang utuh. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Terkait konsep ini, Plato dalam Makhija (2002) mengungkapkan bahwa tidak sepatutnya berusaha mengobati dan menyembuhkan mata tanpa kepala, atau mengobati kepala tanpa badan, demikian juga badan tanpa jiwa, karena bagian-bagian tersebut tidak akan pernah sejahtera kecuali keseluruhannya sejahtera. Kesadaran akan konsep ini melahirkan keyakinan dalam keperawatan bahwa pemberian asuhan keperawatan hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual klien.
Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua klien. Bahkan, Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut dikatakannya, keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat (powerful) dalam penyembuhan dan pemulihan fisik. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada semua klien.
Sementara itu, jika kita lakukan analisis situasi saat ini, termasuk di Indonesia, kenyataannya menunjukan bahwa asuhan spiritual (spiritual care) belum diberikan oleh perawat secara kompeten. Setidaknya fakta tersebut, didasarkan oleh beberapa data yang didapat penulis dari hasil penelusuran terhadap berbagai sumber di beberapa negara maupun pengalaman dan observasi klinis penulis di beberapa institusi atau lembaga pelayanan kesehatan dimana penulis pernah melaksanakan praktik klinik. Fakta tersebut antara lain seperti yang di kemukakan oleh: 1) Rankin dan DeLashmutt (2006) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa banyak perawat mengakui belum memahami secara jelas dan mengalami kebingungan antara konsep spiritualitas dan religius, 2) kesimpulan Rieg, Mason dan Preston, (2006) dalam studinya juga memperlihatkan terdapat banyak perawat yang mengakui bahwa mereka tidak dapat memberikan asuhan spiritual secara kompeten karena selama masa pendidikannya mereka kurang mendapatkan panduan tentang bagaimana memberikan asuhan spiritual secara kompeten, 3) Makhija (2002) melihat bahwa praktik asuhan spiritual menjadi sulit ditemukan akibat terjadinya pergeseran budaya dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran yang lebih berespon terhadap kepentingan bisnis yang berorientasi material, dan 4) kesimpulan sementara penulis dari hasil observasi penulis selama melaksanakan praktik di tatanan pelayanan kesehatan yang menyimpulkan bahwa asuhan spiritual belum dilakukan oleh perawat dalam praktik profesionalnya sehari-hari dengan dibuktikan oleh sulitnya menemukan dokumen dalam catatan keperawatan yang memperlihatkan bukti bahwa asuhan spiritual telah dilakukan dengan baik.
Disamping itu merujuk pada hasil riset yang dilakukan di negara lain seperti oleh Oswald (2004) dalam disertasinya berjudul Nurses’s Perception of Spirituality and Spiritual Care di Drake University Amerika, yang merekomendasikan empat hal untuk dilakukakn penelitian lebih lanjut meliputi 1) perlunya penelitian lanjutan yang serupa pada populasi dan lokasi (termasuk negara) berbeda, yang mempunyai latar belakang sosiobudaya berbeda, 2) penelitian dilakukan dalam kerangka waktu yang lebih panjang, 3) perlunya memperluas data demografi meliputi tiga area antara lain lokasi dimana perawat melakukan praktik profesionalnya (location of practice), tingkat pendidikan perawat (educational level of the nurse), dan lamanya bekerja (years of service in the profession); dan 4) penelitian spiritualitas dan asuhan spiritual dalam kurikulum pendidikan keperawatan. Hasil studi tersebut kiranya menjadi fenomena penting yang perlu dilakukan studi lebih lanjut.
Berdasarkan uraian di atas tampak adanya dua pertentangan antara pentingnya asuhan spiritual di satu sisi dan fakta permasalahan aplikasi asuhan spiritual oleh perawat di sisi lainnya, sekaligus juga peluang dan tantangan untuka melakukan studi lebih lanjut terkait dengan spiritualitas dan asuhan spiritual. Untuk itu perlu direnungkan dan dilakukan pengkajian lebih lanjut bagaimana persepsi perawat tentang konsep spiritualitas dan asuhan spiritual, sebagai langkah awal untuk mulai memfokuskan dan mendudukan sama pentingnya aspek spiritual, seperti juga aspek lainnya (fisik, psiko, dll). Setelah itu perlu pula studi lanjutan tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi asuhan spiritual, baik faktor pendukung maupun penghambatnya.
Nilai yang membentuk dan mempengaruhi kehidupan kita adalah keabadian dan kesehatan. Kesehatan seseorang bergantung pada keseimbangan variabel fisik, psikologis, sosiologis, cultural, perkembangan an spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu aspek yang terintegrasi dari manusia secara keseluruhan, yang ditanai oleh makna dan harapan ( Clark at all, 1991 ) spiritualitas memberi dimensi luas pada pandangan holistic kemanusiaan. Agar perawat dapat memberikan keperawatan yang berkualitas, mereka harus mendukung klien seperti halnya ketika mereka mengidentifikasikan dan mengeksplorasi apa yang sangat bermakna dalam kehidupan mereka dan ketika mereka menemukan cara untuk mengadaptasi nyeri dan menderita penyakit. Keperawatan membutuhkan keterampilan dalam keperawatan spiritual. Setiap perawat harus memahami tentang spiritualitas dan bagaimana keyakinan spiritual mempengaruhi kehidupan setiap orang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka makalah ini akan membahas mengenai konsep umum spiritualitas pada lansia.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Diharapkan mahasiswa mengetahui tentang konsep umum spiritual pada pasien lansia.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mengetahui pengertian spiritual
b. Mahasiswa mengetahui dimensi spiritual lansia
c. Mahasiswa mengetahui perkembangan spiritual lansia
d. Mahasiswa mengetahui kebutuhan dasar spiritual pada lansia
e. Mahasiswa mengetahui sikap kelompok lansia tentang sakit dan kematian



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Spiritual
Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi: kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri. Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan Spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Maslow 1970, dikutip dari Prijosaksono, 2003).
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 1999). Spiritual juga disebut sebagai sesuatu yang dirasakan tentang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain, yang dapat diwujudkan dengan sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah terhadap orang lain, menghormati setiap orang untuk membuat perasaan senang seseorang. Spiritual adalah kehidupan, tidak hanya doa, mengenal dan mengakui Tuhan (Nelson, 2002).
Menurut Mickley et al (1992) menguraikan Spiritual sebagai suatu yang multidimensi yaitu dimensi eksitensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Spiritual sebagai konsep dua dimensi, dimensi vertikal sebagai hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan dengan diri sendiri, dengan orang.

Berdasarkan konsep keperawatan, makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan system kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Dyson mengamati bahwa perawat menemukan aspek spiritual tersebut dalam hubungan dengan seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra, inter, dan transpersonal. Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam ,dan Tuhan (Dossey & Guazetta, 2000).
Para ahli keperawatan menyimpilkan bahwa spiritual merupakan sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh manusia. Spiritual juga merupakan aspek yang menyatu dan universal bagi semua manusia. Setiap orang memiliki dimensi spiritual. Dimensi ini mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan, dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia.

B. Karakateristik Spiritual
Adapun karakteristik spiritualitas menurut Hamid (2000) meliputi :
1. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance) meliputi: pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya) dan sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri sendiri.
2. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki), mengabadikan dan melindungi alam.
3. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi: berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak, orang tua dan orang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dll), dikatakan tidak harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
4. Hubungan dengan ketuhanan (agamais atau tidak agamais) meliputi: sembahyang atau berdoa atau meditasi, perlengkapan keagamaan dan bersatu dengan alam (hamid, 2000).

C. Dimensi Spiritual Pada Pasien Lansia
Menurut Koezier & Wilkinson, 1993 cit Hamid, 2000, dimensi spiritual adalah upaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapat kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian. kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, 2004).
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).

D. Perkembangan Spiritual Pada Pasien Lansia
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2000).
Mubarak et.al (2006), perkembangan spiritual yang terjadi pada lanjut usia antara lain: 1) agama/kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupan; 2) lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler : universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan keadilan.

E. Konsep Kebutuhan Dasar Spiritual
1. Pengertian kebutuhan dasar spiritual
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agamas serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf (Kozier, 2004).
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. dapat disimpulkan kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf. (Hamid, 2000)
Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia (Clinebell dalam Hawari, 2002), yaitu :
a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.
b. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia (horisontat) serta alam sekitaraya
c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
d. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah.
e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa bersaiah dan berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain
f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya.
g. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti.
h. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya apabila mampu (Hamid, 2000) :
1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan.
2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan.
3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta.
4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga.
5. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.
6. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.

2. Pengkajian kebutuhan dasar spiritual pada pasien lansia
Dalam pengkajian terhadap lansia perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam keadaan sakit atau mendeteksi kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian, DR. Tony styobuhi mengemukakn bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam factor, seperti ketidak pastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi bengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun kelurga tadi di tinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka. Mengingatkan klien lansia apakah sudah beribadah, bagaimana perasaan lansia setelah beribadah, melakukan hal-hal yang berhubungan dengan beribadah lainnya (berdoa, pergi ketempat beribadah, berpuasa, berdoa bersama atau pengajian, membaca kitab suci atau al’quran dan lain-lain).

F. Bagaimana sikap pasien lansia sesuai tingkat perkembangan lansia mengahadapi sakit dan kematian. Jelaskan alasannya?
Pada kelompok lansia saat menghadapi sakit dan kematian, lansia lebih cenderung :
1. Mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama
2. Berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda.
3. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri.
4. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2000).
Alasannya : karena pada kelompok lansia lebih cenderung memikirkan aspek spiritual keagamaan yang lebih utama dari aspek-aspek yang lain, sehingga kelompok lansia lebih focus pada satu aktivitas spiritual keagamaan untuk mendekatkan dirinya dengan Tuhannya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada kelompok lansia saat menghadapi sakit dan kematian, lansia lebih cenderung : Mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama, berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda, perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri, perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2000).

B. Saran
Sebagai perawat professional kita harus melakukan hal yang memang dibutuhkan oleh pasien termasuk salah satunya adalah melakukan asuhan keperawatan spiritual, jangan hanya mementingkan kepentingan bisnis yang berorientasi pada material saja


DAFTAR PUSTAKA

Govier. (2000). Spiritual care in nursing: A systematic approach. Nursing standard, 1, (1), diambil pada tanggal 20 September 2007 dari http://www.nursing-standard.co.uk/archives/ns/vol-14-17/pdfs/res.pdf.
Henderson, V. (2006). The concepts of nursing. Journal of advance nursing, 53, (1), 25-31. Diambil pada 24 Desember 2009 dari jam 20.00 WIB dari http://www.journalofadvancednursing.com/docs/jan_1978.pdf.
Makhija (2002). Spiritual nursing. Nursing journal of India. (June, 2002). Diambil pada tanggal 10 Februari 2008 dari http://findarticles.com/p/articles/mi_qa4036/is_ 200206/ai_n9120374.
Oswald (2004). Nurses’ perceptions of spirituality and spiritual care. Diambil pada 27 Desember 2008 jam 14.20 WIB dari http://proquest.umi.com/pqdweb
Rankin & DeLashmutt (2006). Finding spirituality and nursing presence: The student’s challenge. Journal of holistic nursing. (Vol 24; number 4). December 2006. Diambil pada tanggal 21 September 2007 dari http://jhn.sagepub.com/cgi/content/abstract/24/4/282
Rieg, Mason & Preston (2006). Spiritual care: Practical guidelines for rehabilitation nurses. Nov/Dec 2006. Vol. 31. Diambil pada tanggal 15 Februari 2008 dari http://proquest.umi.com/pqdweb?index=15&did=1166454341&SrchMode=1&sid=2&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1190364522&clientId=45625.
Taylor, Lilis & LeMone. (1997). Fundamentals of nursing: The art and science of nursing care. (3rd Ed.). Philadelphia: Lippincott.
Xiaohan, L. (Maret 2005). Basic concepts in nursing science. China: School of Nursing China Medical University. Diambil pada 26 Desember 2009 jam 15.17 WIB dari www.cmu.edu.cn/course/upl_files/17/200761104241915.doc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar