Kamis, 30 Juli 2009

Sekilas Tentang Plastik

Plastik adalah salah satu bahan yang dapat kita temui di hampir setiap barang. Mulai dari botol minum, TV, kulkas, pipa pralon, plastik laminating, gigi palsu, compact disk (CD), kutex (pembersih kuku), mobil, mesin, alat-alat militer hingga pestisida. Oleh karena itu kita bisa hampir dipastikan pernah menggunakan dan memiliki barang-barang yang mengandung Bisphenol-A. Salah satu barang yang memakai plastik dan mengandung Bisphenol A adalah industri makanan dan minuman sebagai tempat penyimpan makanan, plastik penutup makanan, botol air mineral, dan botol bayi walaupun sekarang sudah ada botol bayi dan penyimpan makanan yang tidak mengandung Bisphenol A sehingga aman untuk dipakai makan. Satu tes membuktikan 95% orang pernah memakai barang mengandung Bisphenol-A.

Plastik dipakai karena ringan, tidak mudah pecah, dan murah. Akan tetapi plastik juga beresiko terhadap lingkungan dan kesehatan keluarga kita. Oleh karena itu kita harus mengerti plastik-plastik yang aman untuk kita pakai.

Apakah arti dari simbol-simbol yang kita temui pada berbagai produk plastik?

#1. PETE atau PET (polyethylene terephthalate) biasa dipakai untuk botol plastik yang jernih/transparan/ tembus pandang seperti botol air mineral, botol jus, dan hampir semua botol minuman lainnya. Boto-botol dengan bahan #1 dan #2 direkomendasikan hanya untuk sekali pakai. Jangan pakai untuk air hangat apalagi panas. Buang botol yang sudah lama atau terlihat baret-baret.

#2. HDPE (high density polyethylene) biasa dipakai untuk botol susu yang berwarna putih susu. Sama seperti #1 PET, #2 juga direkomendasikan hanya untuk sekali pemakaian.

#3. V atau PVC (polyvinyl chloride) adalah plastik yang paling sulit di daur ulang. Plastik ini bisa ditemukan pada plastik pembungkus (cling wrap), dan botol-botol. Kandungan dari PVC yaitu DEHA yang terdapat pada plastik pembungkus dapat bocor dan masuk ke makanan berminyak bila dipanaskan. PVC berpotensi berbahaya untuk ginjal, hati dan berat badan.

#4. LDPE (low density polyethylene) biasa dipakai untuk tempat makanan dan botol-botol yang lembek. Barang-barang dengan kode #4 dapat di daur ulang dan baik untuk barang-barang yang memerlukan fleksibilitas tetapi kuat. Barang dengan #4 bisa dibilang tidak dapat di hancurkan tetapi tetap baik untuk tempat makanan.

#5. PP (polypropylene) adalah pilihan terbaik untuk bahan plastik terutama untuk yang berhubungan dengan makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi. Karakteristik adalah biasa botol transparan yang tidak jernih atau berawan. Cari simbol ini bila membeli barang berbahan plastik.

#6. PS (polystyrene) biasa dipakai sebagai bahan tempat makan styrofoam, tempat minum sekali pakai, dll. Bahan Polystyrene bisa membocorkan bahan styrine ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Bahan Styrine berbahaya untuk otak dan sistem syaraf. Selain tempat makanan, styrine juga bisa didapatkan dari asap rokok, asap kendaraan dan bahan konstruksi gedung. Bahan ini harus dihindari dan banyak negara bagian di Amerika sudah melarang pemakaian tempat makanan berbahan styrofoam termasuk negara China.

#7. Other (biasanya polycarbonate) bisa didapatkan di tempat makanan dan minuman seperti botol minum olahraga. Polycarbonate bisa mengeluarkan bahan utamanya yaitu Bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang berpotensi merusak sistem hormon. Hindari bahan plastik Polycarbonate.

Masih banyak sekali barang plastik yang tidak mencantumkan simbol-simbol ini, terutama barang plastik buatan lokal di Indonesia. Oleh karena itu, kalau anda ragu lebih baik tidak membeli. Kalaupun barang bersimbol lebih mahal, harga tersebut lebih berharga dibandingkan kesehatan keluarga kita.

Pada akhirnya. Hindari penggunaan plastik apapun di Microwave. Gunakan bahan keramik, gelas atau pyrex sebagai gantinya.

Hindari juga membuang sampah plastik terutama yang mengandung Bisphenol-A sembarangan karena bahan tersebut pun bisa mencemari air tanah yang pada akhirnya pun bisa mencemari air minum banyak orang.

Pneumonia

Defininisi Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme, baik oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit. Adapun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.

Klasifikasi Pneumonia

Tipe pneumonia berdasarkan sumber kuman, yaitu:

*

Pneumonia komuniti, pneumonia yang didapat di masyarakat (Community Acquired Pneumonia)
*

Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia)
*

Pneumonia Aspirasi
*

Pneumonia Imunocompromised

Klasifikasi pneumonia berdasarkan penyebabnya, yaitu:

*

Pneumonia bakterial / tipikal : staphylococcus, streptococcus, Hemofilus influenza, klebsiella, pseudomonas, dll
*

Pneumonia atipical : mycoplasma, legionella, dan chlamydia
*

Pneumonia virus
*

Pneumonia jamur

Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi, yaitu:

* Pneumonia lobaris, lobularis
* Bronkopneumonia
* Pleuropneumonia
* Pneumonia interstitiel

Patogenesis Pneumonia

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru karena adanya aktivitas mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembangbiak menimbulkan pernyakit. Mikroorganisme masuk saluran napas, dengan cara:

* Inokulasi langsung
* Penyebaran melalui pembuluh darah
* Inhalasi bahan aerosol
* Kolonisasi di permukaan mukosa

Bakteri masuk ke alveoli menyebabkan reaksi radang, sehingga timbullah edema di seluruh alveoli, infiltrasi sel-sel PMN (polimorfonuclear), dan diapedesis eritrosit. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli. Dengan bantuan lekosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian di fagosit. Terdapat 4 zona pada daerah reaksi inflamasi, antara lain:

* Zona luar: alveoli yang terisi bakteri dan cairan edema.
* Zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
* Zona konsolidasi luar: daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
* Zona resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, lekosit dan alveolar makrofag.

Sehingga, terlihat adanya 2 gambaran, yaitu:

* Red hepatization: daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan
* Gray hepatization: daerah konsolidasi yang luas

Diagnosis Pneumonia

Anamnesis

* Demam menggigil
* Suhu tubuh meningkat
* Batuk berdahak mukoid atau purulen
* Sesak napas
* Kadang nyeri dada

Pemeriksaan Fisik

* Tergantung luas lesi paru
* Inspeksi: bagian yang sakit tertinggal
* Palpasi: fremitus dapat mengeras
* Perkusi: redup
* Auskultasi: suara dasar bronkovesikuler sampai bronkial, suara tambahan ronki basah halus sampai ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan Penunjang

* Gambaran radiologis: foto toraks PA/ lateral, gambaran infiltrat sampai gambaran konsolidasi (berawan), dapat disertai air bronchogram.
* Pemeriksaan laboratorium: terdapat peningkatan jumlah lekosit lebih dari 10.000/ul kadang dapat mencapai 30.000/ul.
* Untuk menentukan diagnosis etiologi dilakukan pemeriksaan biakan dahak, biakan darah, dan serologi.
* Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia; pada stadium lanjut asidosis respiratorik.

Penilaian Derajat Keparahan Pneumonia

Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan Patient Outcome Research Team (PORT). Penilaian skor PORT ini meliputi

Faktor demografi

Usia

* Laki-laki, nilainya = umur (tahun) – 10
* Perempuan, nilainya = umur (tahun)

Perawatan di rumah, nilainya 10

Adanya penyakit penyerta berupa:

* Keganasan, nilainya 30
* Penyakit hati, nilainya 20
* Gagal jantung kongestif, nilainya 10
* Penyakit CV, nilainya 10
* Penyakit ginjal, nilainya 10

Pemeriksaan fisis

* Perubahan status mental, nilainya 20
* Pernapasan lebih dari atau sama dengan 30 kali per menit, nilainya 20
* Tekanan darah sistolik kurang dari atau sama dengan 90 mmHg, nilainya 20
* Suhu tubuh kurang dari 35°C atau lebih dari atau sama dengan 40°C, nilainya 15
* Nadi lebih dari atau sama dengan 125 kali per menit, nilainya 10

Hasil laboratorium / radiologi

* Analisis gas darah arteri didapatkan pH sebesar 7,35, nilainya 30
* BUN lebih dari 30 mg/dl, nilainya 20
* Natrium kurang dari 130 mEq/liter, nilainya 20
* Glukosa lebih dari 250 mg/dl, nilainya 10
* Hematokrit kurang dari 30 %, nilainya 10
* PO2 kurang dari atau sama dengan 60 mmHg, nilainya 10
* Efusi pleura, nilainya 10

Penatalaksanaan Pneumonia

Indikasi rawat inap penderita pneumonia, antara lain:

* Skor PORT lebih dari 70
* Bila skor PORT kurang dari 70, dengan kriteria seperti pada kriteria minor.
* Pneumonia pada pengguna NAPZA

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia berdasarkan ATS. Kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih dari kriteria di bawah ini.

Kriteria Minor Pneumonia

* Frekuensi pernapasan lebih dari 30 kali per menit
* PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
* Foto toraks paru menunjukkan adanya kelainan bilateral
* Foto toraks paru melibatkan lebih dari 2 lobus
* Tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg
* Tekanan diastolik kurang dari 60 mmHg

Kriteria Mayor Pneumonia

* Membutuhkan ventilasi mekanik
* Infiltrat bertambah lebih dari 50 %
* Membutuhkan vasopressor lebih dari 4 jam
* Kreatinin serum lebih dari sama dengan 2 mg/dl; atau, peningkatan lebih dari sama dengan 2 mg/dl pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.

Kriteria perawatan intensif penderita pneumonia, antara lain:

* Paling sedikit 1 dari 2 gejala minor tertentu, yaitu membutuh ventilasi mekanik; atau, membutuhkan vasopresor lebih dari 4 jam.
* Atau 2 dari 3 gejala minor tertentu, yaitu nilai PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg; foto toraks menunjukkan adanya kelainan bilateral; dan, tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg.

Pengobatan Pneumonia

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya.

Karena beberapa alasan, yaitu:

* Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
* Bakteri patogen yang berhasil di isolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
* Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

maka, pemberian antibiotika dilakukan secara empiris.

Untuk Penisilin Sensitif Streptococcus Pneumoniae (PSSP), dapat diberikan:

* Golongan penisilin
* TMP-SMZ
* Makrolid

Untuk Penisilin Resisten Streptococcus Pneumoniae (PRSP), dapat diberikan:

* Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
* Sefotaksim, Sefriakson dosis tinggi
* Makrolid baru dosis tinggi
* Fluorokuinolon respirasi

Untuk Pseudomonas aeruginosa, dapat diberikan:

* Aminoglikosid
* Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
* Tikarsilin, Piperasilin
* Karbapenem : Meropenem, Imipenem
* Siprofloksasin, levofloksasin

Untuk Methicillin Resistent Staphylococcus Aureus (MRSA), dapat diberikan:

* Vankomisin
* Teikoplanin
* Linezolid

Untuk Hemophilus influenza, dapat diberikan:

* TMP-SMZ
* Azithromisin
* Sefalosporin gen.2 atau 3
* Fluorokuinolone respirasi

Untuk Legionella, dapat diberikan:

* Makrolid
* Fluorokuinolone
* Rafampicin

Untuk Mycoplasma pneumoniae, dapat diberikan:

* Doksisiklin
* Makrolid
* Fluorokuinolone

Untuk Chlamydia pneumoniae, dapat diberikan:

* Doksisiklin
* Makrolid
* Fluorokuinolone

Komplikasi Penumonia

Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumonia, antara lain:

* Efusi pleura
* Empiema
* Abses paru
* Pneumothoraks
* Gagal napas
* Sepsis

PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE

Video pemeriksaan fisik diagnostik ini terbagi dalam 9 kelompok sebagai berikut:

1. Pemeriksaan fisik kepala, mata, dan telinga, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Inspeksi kepala
* Pemeriksaan tajam penglihatan dan lapangan pandang
* Inspeksi mata
* Pemeriksaan otot ekstraokuler
* Pemeriksaan oftalmoskopi
* Pemeriksaan telinga
* Pemeriksaan pendengaran
* Ringkasan

2. Pemeriksaan fisik hidung, mulut, dan leher, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Inspeksi hidung
* Inspeksi mulut
* Inspeksi leher
* Ringkasan

3. Pemeriksaan fisik kardiovaskular: pembuluh darah leher dan jantung, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Pemeriksaan pembuluh darah leher
* Pemeriksaan jantung
* Mengingat kembali bunyi jantung
* Auskultasi jantung
* Bunyi jantung S1 dan S2
* Bunyi jantung S3, S4, dan bising jantung (murmur)
* Ringkasan

4. Pemeriksaan fisik kardiovaskular: sistem peredaran darah perifer, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Pemeriksaan pembuluh darah ekstremitas atas
* Pemeriksaan pembuluh darah ekstremitas bawah
* Ringkasan

5. Pemeriksaan fisik rongga dada (thorax) dan paru-paru, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Pemeriksaan dada, respirasi, dan rongga dada bagian belakang
* Perkusi rongga dada bagian belakang
* Mengingat kembali suara pernapasan
* Suara napas tambahan
* Auskultasi rongga dada bagian belakang
* Pemeriksaan rongga dada bagian depan
* Perkusi rongga dada bagian depan
* Auskultasi rongga dada bagian depan
* Ringkasan

6. Pemeriksaan fisik neurologis: sistem motorik dan gerak refleks, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Pemeriksaan sistem motorik ekstremitas atas
* Pemeriksaan sistem motorik ekstremitas bawah
* Pemeriksaan koordinasi
* Tes Romberg
* Pemeriksaan refleks
* Ringkasan

7. Pemeriksaan fisik abdomen, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Inspeksi abdomen
* Auskultasi abdomen
* Perkusi abdomen
* Palpasi abdomen
* Pemeriksaan hati
* Pemeriksaan limpa
* Pemeriksaan ginjal dan aorta
* Ringkasan

8. Pemeriksaan fisik neurologis: sistem saraf pusat dan sistem sensorik, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Observasi umum status neurologis
* Pemeriksaan saraf kranial I dan II
* Pemeriksaan saraf kranial III, IV, dan VI
* Pemeriksaan saraf kranial V dan VII
* Pemeriksaan saraf kranial VIII
* Pemeriksaan saraf kranial IX, X, XI, dan XII
* Pemeriksaan sensoris nyeri, suhu dan sensasi raba
* Pemeriksaan sensoris sensasi vibrasi dan posisi
* Pemeriksaan sensoris sensasi diskriminasi
* Ringkasan

9. Pemeriksaan fisik sistem muskuloskeletal, terdiri dari:

* Pendahuluan
* Pemeriksaan kepala dan leher
* Pemeriksaan tangan dan lengan
* Pemeriksaan siku
* Pemeriksaan bahu dan struktur terkait
* Pemeriksaan kaki dan tumit
* Pemeriksaan tungkai
* Pemeriksaan pinggul
* Pemeriksaan tulang belakang

ASMA

. PENDAHULUAN

Definisi
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang1. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant. Inflamasi kronik ini akan menyebabkan penyempitan (obstruksi) saluran napas yang reversible, membaik secara spontan dengan atau tanpa pengobatan. Gejala yang timbul dapat berupa batuk, sesak nafas dan mengi2,3,4. Asma juga disebut complex clinical syndrome yang ditandai dengan obstruksi saluran napas, hipereaktivitas bronkus dan inflamasi saluran napas4. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan menggaggu aktivitas bahkan kegiatan harian sehigga menurunkan kualitas hidup.

Walaupun diagnosis dan pengobatan pada kebanyakan penderita umumnya mudah, namun pada sebagian penderita lainnya sering memberikan hasil pengobatan yang tidak memuaskan. Bahkan pada sebagian penderita lainnya benar-benar sukar dikendalikan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengkaji penyakit ini, dan hasilnyapun bermacam-macam.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, usaha-usaha untuk mengatasi penyakit inipun makin berkembang. Berbagai obat baru ditemukan dan digunakan untuk mengatasi penyakit ini. Namun pengobatan yang tuntas yang dapat diberikan pada semua individu tampaknya belum ada sampai saat ini.

Selain itu, Asma juga merupakan penyakit yang dikenal luas di masyarakat. Namun demikian belum semua aspek patofisiologi asma dipahami secara utuh hingga timbul anggapan dari sebagian dokter dan masyarakat bahwa asma merupakan penyakit yang sederhana serta mudah diobati, dengan anggapan bahwa pengelolaannya yang utama adalah obat-obatan khususnya bronkodilator. Kemudian munculah kebiasaan dari dokter dan pasien untuk mengatasi gejala asma saja khususnya terhadap gejala sesak nafas dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukannya mengelola asma secara lengkap.2,3

Sedangkan menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2006, Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, inflamasi kronik ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, biasanya bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Batasan diatas memang sangat lengkap namun tidak praktis. Konsensus Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi bertulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut ; timbul secara episodik, cenderung malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya riwayat asma atau atopi pada pasien / keluarganya5.

Disamping itu, adanya kesulitan dalam mengetahui sebab dan cara mengontrol asma. Pertama-tama, timbul akibat perbedaan perspektif mengenai definisi asma serta metode dan data penelitiannya. Ke dua, diagnosis asma biasanya berdasarkan hasil kuesioner tentang adanya serangan asma dan mengi saja tanpa disertai hasil tes faal paru untuk mengetahui adanya hiperreaksi bronkus (HRB). Ke tiga, untuk penelitian dipakai definisi asma berbeda-beda. Woodcock (1994) menyebut asma akut (current asthma) bila telah ada serangan dalam 12 bulan terakhir dan terdapat HRB; dikatakan asma persisten, bila terus menerus terdapat gejala dan HRB: sedangkan asma episodik bila secara episodik dijumpai gejala asma tanpa adanya HRB pada tes provokasi. Ke empat, angka kejadian dari penelitian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan objek penelitian yaitu faktor lokasi (negara, daerah. kota atau desa), populasi pasien (masyarakat atau sekolah/rumah sakit, rawat inap atau rawat jalan) usia (anak, dewasa) cuaca (kering atau lembab), predisposisi (atopi, pekerjaan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu dingin, kegiatan fisik), dan tingkat berat serangan asma.

Epedemiologi
Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan terutama oleh pengertian yang salah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang tidak lengkap atau sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilaksanakan strategi pengelolaan asma berdasarkan pedoman pengelolaan yang lengkap dan sistimatik. Kerjasama yang erat di antara para dokter dan petugas medik lainnya dengan penderita asma sangatlah diperlukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Dengan upaya ini diharapkan akan tercapai penyebarluasan cara pengelolaan asma preventif dan kuratif yang sesuai dengan perkem-bangan dan metoda pengelolaan asma yang mutakhir. Dan akan tercapai pula penurunan angka morbiditas maupun mortalitas yang diakibatkan oleh asma ataupun komplikasinya.

Menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2 – 5 %5 (3-8%2 dan 5-7%7) penduduk Indonesia menderita asma. Berdasarkan laporan Heru Sundaru (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM), prevalensi asma di Bandung (5,2%), Semarang (5,5%), Denpasar (4,3%) dan Jakarta (7,5%)8. Di Palembang, pada tahun 1995 didapatkan prevalensi asma pada siswa SMP sebesar 8,7% dan siswa SMA pada tahun 1997 sebesar 8,7% dan pada tahun 2005 dilakukan evaluasi pada siswa SMP didapatkan prevalensi asma sebesar 9,2%2. Penyakit Asma dapat mengenai segala usia dan jenis kelamin, 80-90% gejala timbul sebelum usia 5 tahun9. Pada anak-anak, penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan, sedangkan pada usia dewasa terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada anak dan bayi lebih tinggi daripada orang dewasa.

Tujuan
Masalah yang sering dijumpai dalam klinik dalam mengobati penderita asma, umumnya dapat digolongkan pada 3 hal :
1.Masalah diagnosis
Stellman 1982, mendapatkan sepertiga dari penderita asma kronis tidak didiagnosis sebagai asma bronkial walaupun pada sebagian kecil penderita ini sukar dibedakan satu sama lain.
2.Penilaian berat penyakit
Kesalahan menilai derajat dan beratnya penyakit yang berakibat pengobatan tidak adekuat merupakan masalah terbesar. Kebanyakan terjadi kurang penilaian dan undertreatment dibandingkan dengan overtreatment.
3.Masalah pengobatan atau penatalaksanaan
Umumnya akibat kesalahan penilaian (asesmen) beratnya penyakit, pengetahuan mengenai obat obat anti asma dan cara pemakaian yang tepat dan rasional di samping adanya penderita yang tidak patuh (patient compliance).

Pada tinjauan pustaka ini kami akan mengulas terutama tentang penatalaksanaan asma baik diwaktu serangan maupun di luar serangan. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan asma yang rasional, baik diwaktu serangan maupun di luar serangan.

II. PATOGENESIS ASMA

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel dan mediator-mediator yang berperan, yang ditandai oleh peningkatan kepekaan trakea dan saluran napas terhadap berbagai rangsangan dengan menimbulkan penyempitan saluran napas menyeluruh dengan derajat yang berubah secara spontan atau dengan pengobatan4.

Peningkatan kepekaan disebut sebagai hiperreaktivitas bronkus, merupakan kelainan dasar pada asma. Dulu, asma dianggap suatu manifestasi alergi semata-mata, ternyata rangsangan yang tidak spesifikpun dapat menimbulkan serangan asma, di samping itu orang yang mempunyai riwayat alergi tidak selalu berkembang menjadi penderita asma.

Obstruksi saluran napas yang terjadi secara patologis ditandai dengan spasme otot polos, hipersekresi dan peradangan saluran napas. Proses ini terjadi karena lepasnya mediator seperti histamin, prostaglandin dan slow reacting substance of anaphylaxis (SRS—A). Mediator-mediator ini dapat bekerja langsung pada otot polos bronkus atau secara tidak langsung melalui sistem para simpatis (kolinergik). Pada waktu serangan asma saluran napas akan menyempit akibat spasme otot bronkus, mukosa sembab, infiltrasi sel-sel radang dan sekresi mukus yang meningkat. Karena obstruksi ini tahanan jalan napas akan meningkat, menyebabkan terjadinya perlambatan aliran udara ekspirasi. Dengan berlanjutnya serangan volume residu akan meningkat; karena volume rongga dada meningkat untuk mempertahankan udara ventilasi dan tingkat yang optimal, terjadi hiperinflasi. Ini disebabkan karena terjadi penyempitan saluran napas.

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast.

Selain sel mast sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar. eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktitkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektur sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus.

Reaksi asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Pada reaksi asma awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10–15 menit setelah rangsangan dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini mudah diatasi dengan beta-2 agonis.

Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam rangsangan oleh alergen dan bertahan selama 16–24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Fase ini disertai dengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, infla-masi netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini peran spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis.
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa:
1.Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
2.Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan
3.Edema mukosa dan eksudasi plasma.
4.Hipersekresi lendir yang kental dari kelenjar submukosa yang mengalami hipertrofi.

Gambar 1. Face obstruksi jalan napas pada asma

Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui reteks saraf. Rangsang ujung saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma,besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui secara pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan7. Sel inflamasi yang berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, magrofag, neutrofil dan sel epitel. Sedangkan factor lingkungan dan berbagai factor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus suatu inflamasi saluran napas pada penderita asma.

Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran napas, akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai APC (antigen presenting cell). Setelah diproses, antigen (setiap benda asing yang masuk kedalam tubuh disebut antigen) akan dipresentasikan ke sel Th0 (T helper nol) oleh APC dengan melepaskan IL-1 (interleukin-1). Selanjutnya sel Th0 yang sudah aktif, akan berdiffernsiasi menjadi Th2. Th2 meberikan sinyal pada sel limfosit B untuk berproliferasi dan differensiasi menjadi sel plasma, membentuk IgE (immunoglobulin E) yang spesifik untuk allergen tersebut dengan bantuan IL-2 B Cell Growth Factor dan B Cell Differensiatial Factor.2

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit di jaringan terutama bronkus. Pemaparan oleh allergen yang sama untuk kesekian kalinya akan diikat oleh IgE yang spesifik pada permukaan sel mastosit yang akan menyebabkan degranulasi. Degranulasi ini aka melepaskan sejumlah mediator seperti histamine, ECF-A, NCF, tryptase dan kinin (perform mediator). Penglepasan mediator histamine akan menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi segera setelah pemaparan (sekitar 10 menit) dan berakhir sekitar 1 jam sesudahnya. Reaksi ini disebut fase awal (early phase).2

Membran mastosit yang kecil mengandung fasfolipid akan diubah mejadi asam arakidonat oleh fosfolipase. Selanjutnya asam arachidonat dengan bantuan siklooksigenase dan lipooksigenase akan membentuk prostaglandin, leukotrin dan tromboksan. Mediator ini desebut newly generated mediator yang menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi setelah 4-24 jam kemudian. Reaksi inilah yang disebut reaksi fase lambat (late phase).2

III. DIAGNOSIS ASMA

Umumnya, diagnosis asma tidaklah sulit, tetapi pada kasus tertentu kadang-kadang sukar dibedakan dengan penyakit lain yang memberikan gejala yang serupa. Ada kalanya gejala yang muncul hanya batuk atau sesak atau mungkin hanya rasa berat di dada. Maka untuk kasus-kasus seperti ini diperlukan pemeriksaan yang lebih cermat dan mungkin perlu beberapa pemeriksaan penunjang.

Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma, terdiri dari: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.10

Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyususn srategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan, batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Tetapi adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun hanya pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat alrgi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat membantu menegakakan diagnosis.

Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan mengetahui factor pencetus kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri dari:7,10
•Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang, kapas, debu kopi atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat pewarna dan sebagainya.
•Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa dan sebagainya.
•Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.
•Ketegangan atau tekanan jiwa.
•Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.
•Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka seseorang dicurigai menderita asma apabila:10
•Sesak atau batuk yang berkepanjangan setelah menderita influenza
•Batuk-batuk setelah olahraga, terutama pada anak-anak atau rasa berat atau tercekik pada dada sehabis olahraga (yang terbukti tidak ada kelainan jantung)
•Sesak atau batuk-batuk pada waktu ruang berdebu atau berasap
•Batuk-batuk setelah mencium bau tertentu
•Batuk-batuk atau sesak yang sering timbul pada malam hari dan tidak berkurang sesudah duduk.

Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu asma. Atau yeng membedakan asma dengan penyakit paru lain yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat. Artinya, serangan asma ada yang hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi, membiarkan penderita asma dalam srangan tanpa obat selain tidak etis, juga bisa membahayakan nyawa penderita.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki.

Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya serangan) dan saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga tanpak retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.

Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi batuk, sesak ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium7,10
Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering meningkat pada pasien asma, dan hal ini dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronchitis kronik. Jumlah eosinofil menurun dengan pemberian kortikosteroid, sehingga dipakai juga untuk patokan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pada pasien asma.

Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.
Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada fase yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.

2.Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa, seperti ggal jantung kiri, atau menemukan penyakit lain yang menyertai asma seperti tuberculosis, atau mendeteksi adanya komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.7,10

3.Uji Kulit
Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang spesifik pada kulit, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibody yang serupa pada saluran napas penderita asma. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan pencetus serangan asma, demikian pula sebaliknya.7

4.Pemeriksaan Spirometri
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes mellitus.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah dengan melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator. Tetapi tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak berarti bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati normal. Respons mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat oleh karena dosis tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang diharapkan mungkin perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2, teofilin dan kortikosteroid).

Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC atau perbandingan FEV1 yang diukur dengan FEV1 yang prediktif seperti terlihat dalam table berikut:
Tabel 1. Derajat Obstruksi Saluran Napas
Derajat obstruksi FEV1 (liter) FEV1/FVC FEV1/FEV1p

Dikutip dari Buku Penatalaksanaan Asma Bronkhial, Diagnosis Asma; karangan Samsu. Hal 22.
Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes pemantauan faal paru untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak Flowmeter, dimana APE diukur 3 kali sehari ditambah ekstra pada saat munculnya sesak. Apabila selisih APE yang tertinggi dengan yang terendah 20% atau lebih merupakan petanda asma.

5.Tes Provokasi Brokial
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus dilakukan tes provokasi bronkus. Tes ini tidak dilakukan apabila tes spirometri menunjukkan resersibilitas 20% atau lebih.

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes provokasi histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aqua destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya hiperaktivitas bronkus.10

IV. PENATALAKSANAAN ASMA

Sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller).

Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu.
Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi.2

Penatalaksanaan Asma Saat Serangan
Penatalaksanaan asma saat serangan bertujuan untuk: mencegah kematian, dengan segera menghilangkan obstruksi saluran napas; mengembalikan fungsi paru sesegera mungkin; mencegah hipoksemia dan mencegah terjadinya serangan berikutnya.
Penatalaksanaan asma saat serangan dibagi lagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan saat serangan di rumah dan penatalaksanaan asma saat serangan di rumah sakit.

Penatalaksanaan Saat Serangan di Rumah
1.Terapi awal
Berikan segera Inhalasi agonis beta2 kerja cepat 3 kali dalam 1 jam berarti setiap 20 menit, contohnya Salbutamol 5mg, Terbutalin 10 mg, Fenoterol 2,5 mg
Jika tidak tersedia inhalasi agonis beta2 maka dapat diberikan agonis beta2 oral 3×1tablet 2 mg
2.Evaluasi respon pasien
Jika keadaan pasien membaik yaitu gejala batuk, sesak dan mengi berkurang atau tidak terjadi serangan ulang selama 4 jam maka pemberian beta2 agonis diteruskan setiap 3-4 jam selama 1-2 hari.

Jika keadaan pasien tidak membaik atau malah memburuk maka berikan kortikosteroid oral seperti 60-80 mg metilprednisolon kemudian pemberian beta2 agonis diulangi dan segera rujuk pasien ke rumah sakit.

Gambar 2. Penatalaksanaan serangan Asama di rumah.

Dikutip dari: Peranan Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma yang Rasional sehingga Meningkatkan Kualitas Hidup. Buku pidato pengukuhan Guru Besar, Eddy Mart Salim. Hal 10.

Pengelolaan Serangan Asma di Rumah Sakit
1.Terapi awal
Inhalasi beta2 agonis kerja singkat secara nebulisasi 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam atau agonis beta2 injeksi seperti Terbutalin o,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan. Berikan oksigen dengan kanul nasal 4-6 l/menit untuk mencapai saturasi 90% pada dewasa dan 95% pada anak-anak. Berikan kortikosteroid sistemik seperti hidrokortison 100-200mg atau metilprednisolon IV jika:
1.Serangan asma berat
2.Tidak ada respon segera dengan beta2 agonis
3.Jika pasien sedang mendapat kortikosteroid peroral
2.Lakukan penilaian ulang APE, saturasi oksigen dan pemeriksaan lain bila diperlukan
Jika respon baik maka pasien dipulangkan, teruskan pengobatan inhalasi beta2 agonis dan dapat ditambahkan kortikosteroid oral, berikan arahan pada pasien untuk minum obat secara teratur. Jika respon pasien tidak sempurna dalam 1-2 jam maka pasien dirawat di rumah sakit dengan:
1.Pemberian inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik
2.Beri kortikosteroid sistemik
3.Berikan oksigen sama seperti sebelumnya
4.Dapat diberikan aminofilin IV

Jika respon buruk dalam 1 jam maka pasien dirawat di ICU dengan diberikan
•Inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik,
•Kortikosteroid IV
•Beta2 agonis subkutan, IM dan IV
•Beri oksigen
•Aminofilin IV
•Berikan intubasi dan ventilasi mekanik

Gambar 3. Penatalaksanaan serangan Asma di Rumah Sakit

Dikutip dari Guidelines for the Diagnosis and Management of Astma. 2007. P. 55

Penatalaksanaan Asma di Luar Serangan
Penatalaksanaan asma diluar serangan, mengacu kepada berat ringannya gejala asma. Berdasarkan berat ringannya gejala asma, maka penatalaksanaan asma di luar serangan dapat dibagi menjadi; penatalaksanaan asma intermiten , penatalaksanaan asma persisten ringan, sedang dan berat.

Penatalaksanaan Asma Intermiten
Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala intermiten (kurang dari satu kali seminggu), serangan singkat (beberapa jam sampai hari), gejala asma malam kurang dari dua kali sebulan, diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.

Pada asma intermiten ini, tidak diperlukan pengobatan pencegahan jangka panjang. Tetapi obat yang dipakai untuk menghilangkan gejala yaitu agonis beta 2 inhalasi, obat lain tergantung intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.

Penatalaksanaan Asma Persisten Ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala lebih dari 1x seminggu, tapi kurang dari 1x per hari, serangan mengganggu aktivitas dan tidur, serangan malam lebih dari 2x per bulan dan nilai APE atau VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.

Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 200-500 mikrogram, kromoglikat, nedocromil atau teofilin lepas lambat. Dan jika diperlukan, dosis kortikosteroid inhalasi dapat ditingkatkan sampai 800 mikrogram atau digabung dengan bronkodilator kerja lama (khususnya untuk gejala malam), dapat juga diberikan agonis beta 2 kerja lama inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat. Sedangkan untuk menghilangkan gejala digunakan: agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari.

Penatalaksanaan Asma Persisten Sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala setiap hari, serangan mengganggu aktivitas dan tidur, serangan malam lebih dari 1x per minggu dan nilai APE atau VEP1 antara 60-80% nilai prediksi, variabilitas > 30%.

Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 mikrogram, bronkodilator kerja lama, khususnya untuk gejala malam: inhalasi atau oral agonis beta 2 atau teofilin lepas lambat. Sedangkan obat yang digunakan untuk menghilangkan gejala, terdiri dari: agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari.

Penatalaksanaan Asma Persisten Berat
Gambaran linis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala terus-menerus, sering mendapat serangan, sering serangan malam, aktivitas fisik terbatas dan nilai APE atau VEP1 kurang dari 60% nilai prediksi, variabilitas > 30%.

Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 migrogram; bronkodilator kerja lama (inhalasi agonis beta 2 kerja lama, teofilin lepas lambat, dan atau agonis beta 2 kerja lama tablet atau sirup; kortikosteroid kerja lama tablet atau sirup. Sedangkan, obat yang digunakan untuk menghilangkan gejala, agonis beta 2 inhalasi bila perlu dan obat pencegah setiap hari.

Tabel 2. Pengobatan Asma Bronkhial di luar serangan (jangka panjang)

Dikutip dari: Peranan Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma yang Rasional sehingga Meningkatkan Kualitas Hidup. Buku pidato pengukuhan Guru Besar, Eddy Mart Salim. Hal 15.

Jadi, pada prinsipnya pengobatan asma dimulai sesuai dengan tingkat beratnya asma, bila asma tidak terkendali lanjutkan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelum itu perhatikan dulu, apakah teknik pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (menghindari factor pencetus) telah dilaksanakan dengan baik.

Setelah asma terkendali dengan baik, paling tidak untuk waktu 3 bulan, dapat dicoba untuk menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang dapat mengandalikan gejala.

Akhir-akhir ini diperkenalkan terapi anti IgE untuk asma alergi yang berat. Penelitian menunjukkan anti IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian obat anti asma serta kunjungan ke gawat darurat karena serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.

Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai kombinsi kortikosteroid dan bronkodilator, untuk mencegah kerusakan kronik dan gangguan fungsi paru. Panduan pengobatan menganjurkan pemakaian kortikosteroid sedini mungkin pada pasien yang mengkonsumsi agonis beta 2 inhalasi aksi pendek lebih dari sekali sehari. Ada dua penelitian yang melaporkan bahwa penambahan salmeterol pada pasien asma ringan, sedang maupun berat yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid inhalasi menghasilkan perbaikan fungsi paru dan gejala asma. Bila dibandingkan dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi dua kali lipat. Penelitian lain melaporkan perbaikan gejala fungsi paru dan penurunan eksaserbasi pada pasien yang mendapat salmaterol yang dikombinasi dengan flutikason propionate dibandingkan denganpasien yang memperoleh dosis kortikosteroid dua kali lipat. Penelitian lain juga menemukan, keberhasilan kombinasi budesonide dengan formoterol dalam satu sediaan untuk mengontrol asma dan meningkatkan kualitas hidup.2

Disamping itu semua, dalam pengobatan asma, ketaatan pemakaian obat juga menentukan keberhasilan terapi. Ketaatan pemakaian obat akan menurunkan dalam kompleksitas pengobatan dan seringnya frekuensi pemakaian obat. Untuk itu, diperlukan penyederhanaan rejimen pengobatan dengan mengkonsumsikan agonis beta 2 aksi panjang dengan kortikosteroid dalam suatu sediaan. Kombinasi ini dipakai 2 kali sehari diharapkan akan memperbaiki pengendalian asma dan kualitas hidup pada pasien-pasien yang membutuhkan ke arah jenis pengobatan di atas.2

Pentingnya Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma
Edukasi pada pasien asma merupakan suatu hal yang sangat penting, dan sebelumnya harus ada dulu kerjasama yang baik antara dokter/tenaga medis dengan penderita dan keluarganya. Bila penderita dan keluarganya memahami penyakitnya dengan baik, maka ia secara sadar akan menghindari factor-factor pencetus serangan, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi kepada dokter secara tepat. Panderita dan keluarganya harus diberi motivasi bahwa untuk mengatasi penyakit asma tidak akan berhasil dengan baik bila hanya dengan obat-obatan saja, tetapi harus juga mempunyai pengetahuan tentang penyakit asma dan penatalaksanaannya.2, 11
Salah satu factor penyulit dalam pengobatan asma adalah penderita datang dalam keadaan penyakit berat karena penderita berusaha mengobati diri sendiri dan menunda-nunda untuk meminta pertolongan dokter. Maka dengan edukasi yang baik, penderita diharapkan bisa membedakan keadaan serangan yang ringan dan berat. Bahkan penderita dan keluarga harus bisa memilah kapan harus ke dokter dan kapan tidak perlu ke dokter.

Penderita asma dan keluarganya hurus memahami tujuh masalah dalam bidang penyakit asma untuk mengengatasi penyakitnya, yaitu:2 memahami pengertian dasar dari penyakitnya, artinya kita harus memberikan edukasi kepada penderita dan keluarganya mengenai penyakit asma, termasuk didalamnya: patofisiologis, gejala, berat-ringannya penyakit asma, berat-ringannya serangan asma, factor pencetus serta pengendalian lingkungan, cara pengobatan preventif maupun kuratif yang dianjurkan, termasuk obat asma serta efek samping dan cara pemakaiannya, dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Disamping itu, penderita juga diharapkan dapat menilai atau memantau berat-ringannya penyakit asma serta berat-ringannya serangan dan termasuk didalamnya pengelolaan yang dianjurkan; memahami dan memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang; memahami dan melaksanakan rencana pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma yang mendadak; serta olahraga yang teratur untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan control secara teratur ke dokter pribadinya.

V. RINGKASAN

Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun serta menyebabkan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan.

Konsep patogenesis asma bronkial adalah hipereaktivitas saluran napas yang didasari oleh inflamasi alergik kronis. Inflamasi ini akan menyebabkan penyempitan saluran napas yang bersifat reversibel, dan mebaik secara spontan ataupun dengan pengobatan. Gejala yang timbul dapat berupa batuk berulang, mengi, dada terasa tertekan, dan sesak napas, terutama pada malam dan/atau pagi hari. Dengan demikian pengobatan asma tidak hanya ditujukan untuk mengatasi bronkokonstriksi tapi juga untuk mengatasi inflamasi alergi dan hiperreaktifitas bronkus.

Asma dapat timbul pada berbagai usia, terjadi pada laki-laki dan wanita. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi asma di Indonesia diperikakan sekitar 2 – 8%. Prevalensi morbiditas dan mortalilas asma akhir-akhir ini dilaporkan meningkat di seluruh dunia, meskipun berbagai obat baru terus dikembangkan dan digunakan untuk mengobati penyakit ini.

Penatalaksanaan asma ada dua, yaitu: penatalaksanaan asma pada saat serangan (reliever) dengan memakai obat bronkodilator (salbutamol, terbutalin, theophilin) termasuk penatalaksanaan asma di rumah dan di rumah sakit dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller) dengan memakai anti implamasi
Edukasi kepada penderita asma dan keluarganya mutlak harus dilakukan dan ini memerlukan kerjasama yang erat antara dokter/tenaga medis dengan penderita dan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

1.Tampubolon GEM. Penatalaksanaan Asma yang Terkendali (online). Available from: http://members.fortunecity.com/bheru/referat/0012/gand2000.htm
2.Salim EM. Peranan Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma yang Rasional Sehingga Meningkatkan Kualitas Hidup. Palembang; 2005.
3.Dahlan Z. Masalah Asma di Indonesia dan Penanggulangannya (online). Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05MasalahAsma121.pdf/05MasalahAsma121.pdf
4.Musani AI, Pascual RM, Peters SP. Asthma in Manual of Allergy and Immunology (computer program). Version 4.32. Isilo: Computerized Educational System; 2002.
5.Setiawati L, Makmuri, Santosa G. Inhalasi pada Penatalaksanaan Asma Anak (online). Available from: http://www.pediatrik.com/buletin/20060220-2p9azx-buletin.pdf
6.Depkes RI. 2-5% Penduduk Indonesia Menderita Asma (online). Available from: http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2571&Itemid=2

ASKEP PADA KLIEN ASMA BRONKIAL

By : RIO

1. Definisi:
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronki terhadap berbagai macam rangsangan yang manifestasinya berupa kesukaran bernapas, karena penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajad penyempitannya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat-obatan. Kelainan dasarnya, tampaknya suatu perubahan status imunologis si penderita. (United States Nasional Tuberculosis Assosiation 1967).

2. Klasifikasi
Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe:
2.1 Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik)Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang menderita asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan, ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi asma, perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik merupakan keadaan peka bagi penderita.

2.2 Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik).Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial.Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada famili ada yang menderita asma, adanya eksim pada waktu bayi, sering menderita rinitis.Di Inggris jelas penyebabya House Dust Mite, di USA tepungsari bunga rumput.

2.3 Asma bronkial campuran (Mixed)Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.

4. Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus serangan asma ialah:a. Alergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang, bulu kapas, debu kopi/teh, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat pewarna dsb.b. Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa, dsb.c. Ketegangan atau tekanan jiwa.d. Olahraga/kegiatan jasmani, terutama lari.e. Obat-obatan seperti penyekat beta, salisilat, kodein, dsb.f. Polusi udara atau bau yang merangsang seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum, asap industri, dsb.

5. Penatalaksanaan:
1. Waktu serangan.
a Bronkodilatora. Golongan adrenergik: Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15 menit kemudian. Untuk anak-anak diberikan dosis lebih kecil 0,1 – 0,2 cc.
b. Golongan methylxanthine: Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg. Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 – 10 menit, diberikan 5 – 10 cc. Aminophilin dapat diberikan apabila sesudah 2 jam dengan pemberian adrenalin tidak memberi hasil.
c. Golongan antikolinergik: Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik adalah menghambat enzym Guanylcyclase.

Antihistamin.Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju.

Kortikosteroid.Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunayi efek bronkodilator.

Antibiotika.Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali: sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder.

Ekspektoransia. Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran napas. Beberapa ekspektoran adalah: air minum biasa (pengencer sekret), Glyceril guaiacolat (ekspektorans)

2. Diluar seranganDisodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding membran dari cell mast atau basofil sehingga: mencegah terjadinya degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan histamin, mencegah pelepasan Slow Reacting Substance of anaphylaksis, mencegah pelepasan Eosinophyl Chemotatic Factor).

Pengobatan Non Medikamentosa:
1. Waktu serangan:
1.1 pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar gejala klinik maupun hasil analisa gas darah.
1.2 pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang berlangsung lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi, viskositas mukus juga berkurang dan dengan demikian memudahkan ekspektorasi.
1.3 drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran dahak agar supaya tidak timbul penyumbatan.
1.4 menghindari paparan alergen.

2. Diluar serangan
2.1 Pendidikan/penyuluhan.Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya, apa pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan bagaimana dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen. Imti dari prevensi adalah menghindari paparan terhadap alergen.
2.2 Imunoterapi/desensitisasi.Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan desensitisasi.
2.3 Relaksasi/kontrol emosi.untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik dapat dibantu dengan latihan napas.

6. Pengkajian.
6.1 Anamnesis.
Anamnesis pada penderita asma sangat penting, berguna untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi pengobatan. Gejala asma sangat bervariasi baik antar individu maupun pada diri individu itu sendiri (pada saat berbeda), dari tidak ada gejala sama sekali sampai kepada sesak yang hebat yang disertai gangguan kesadaran.Keluhan dan gejala tergantung berat ringannya pada waktu serangan. Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan dan gejala tak ada yang khas. Keluhan yang paling umum ialah : Napas berbunyi, Sesak, Batuk, yang timbul secara tiba-tiba dan dapat hilang segera dengan spontan atau dengan pengobatan, meskipun ada yang berlangsung terus untuk waktu yang lama.
6.2 Pemeriksaan Fisik.
Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang mendukung diagnosis asma dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, juga berguna untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai asma
6.2.1 Sistim Pernapasan:
• Batuk mula-mula kering tidak produktif kemudian makin keras dan seterusnya menjadi produktif yang mula-mula encer kemudian menjadi kental. Warna dahak jernih atau putih tetapi juga bisa kekuningan atau kehijauan terutama kalau terjadi infeksi sekunder.
• Frekuensi pernapasan meningkat
• Otot-otot bantu pernapasan hipertrofi
• Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi yang memanjang disertai ronchi kering dan wheezing.
• Ekspirasi lebih daripada 4 detik atau 3x lebih panjang daripada inspirasi bahkan mungkin lebih.
• Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
- Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada yang pada perkusi terdengar hipersonor.
- Pernapasan makin cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu napas (antar iga, sternokleidomastoideus), sehingga tampak retraksi suprasternal, supraclavikula dan sela iga serta pernapasan cuping hidung.
• Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan pernapasan cepat dan dangkal dengan bunyi pernapasan dan wheezing tidak terdengar(silent chest), sianosis.

6.2.2 Sistem Kardiovaskuler:
• Tekanan darah meningkat, nadi juga meningkat
• Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
- takhikardi makin hebat disertai dehidrasi.
- Timbul Pulsus paradoksusdimana terjadi penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada waktu inspirasi. Normal tidak lebih daripada 5 mmHg, pada asma yang berat bisa sampai 10 mmHg atau lebih.
• Pada keadaan yang lebih berat tekanan darah menurun, gangguan irama jantung.

6. 2.3 Sistem persarafan:
• Komposmentis
• Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
- cemas/gelisah/panik
- sukar tidur, banyak berkeringat dan susah berbicara
• Pada keadaan yang lebih berat kesadaran menurun, dari disorientasi dan apati sampai koma. Pada pemeriksaan mata mungkin ditemukan miosis dan edema papil.

6.3 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
6.3.1 Laboratorium:
• Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya infeksi
• Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini menurun dengan pemberian kortikosteroid.
6.3.2 Analisa gas darah:Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi alkalosis respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal atau meningkat dan terjadi asidosis respiratorik.

6.3.3 Radiologi: Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda yang menunjukkan yang khas untuk asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus, vaskulasrisasi paru.
6.3.4 Faal paru: Menurunnya FEV1
6.3.5 Uji kulit: Untuk menunjukkan adanya alergi
6.3.6 Uji provokasi bronkus: Dengan inhalasi histamin, asetilkolin, alergen. Penurunan FEV 1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan petanda adanya hiperreaktivitas bronkus.

7. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekrit dan bronchospasme
2. Pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
3. Ansietas berhubungan dengan kesulitan bernapas, takut menderita, dan /atau takut serangan berulang.
4. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan perawatan diri.

DAFTAR PUSTAKA
Karnen G. Baratawidjaya, Samsuridjal. (1994). Pedoman Penatalaksanaan Asma Bronkial. CV Infomedika Jakarta.

Muhamad Amin. Hood Alsagaff. W.B.M. Taib Saleh. (1993). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press.

Tucker S.M. (1993). Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. EGC.
Diposkan oleh prodi_keperawatan di 11:21
Label: otot - otot bantu nafas, rongga dada, wheezing
Reaksi:
0 komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Anamnesa Asma

By :RIO

Seperti halnya untuk penyakit system yang lain, anamnesis dan PD (Physical Diagnostic) merupakan kunci pembuka pintu pertama dalam pemecahan masalah kesehatan/penyakit yang timbul di masyarakat.

Karena sistim respirasi tidak berdiri sendiri maka anamnesis dan PD pada dasarnya sama dengan struktur yang umum.

Struktur Umum Anamnesis

1. Identitas Pasien

2. Keluhan Utama

3. Detail Dari Penyakit Sekarang

4. Riwayat Kesehatan Yang Lalu

5. Pengobatan Dan Respons Terhadap Obat

6. Penyakit/kesehatan Keluarga

7. Riwayat Lahir, Imunisasi, Pertumbuhan Dan Perkembangan dan Gizi

8. Rumah, Sosio Ekonomi, lingkungannya

Prasyarat untuk dapat mendiagnosis:

1. Memahami patofisiologi dan criteria diagnosis penyakit

2. Memahami bioetik, moral dan ilmu komunikasi

3. Situasi dan kondisi yang kondusif

Keluhan Utama pada Penyakit Respiratorik :

1. Bersin/pilek

2. Batuk

3. Sesak

4. Suara parau

5. Ngorok

6. Dada tercekik

7. Nyeri dada

8. Cyanosis

Detail dari keluhan utama atau penyakit sekarang meliputi

§ Onsetnya : apakah terjadi tiba-tiba? Atau bertahap?

§ Polanya : apakah terus menerus (continuing)? Atau mungkinn intermitten?

§ Frekuensinya : berapa sering dalam sehari, ataukah minggu, atau sebulan lamanya

§ Durasi : dalam berapa menit? Atau jam?

§ Progresivitas: menetap? Membaik? Atau bahkan memburuk?

§ Severity: Ringan, sedang atau berat?

§ Karakterisik: jadi bagaimana gambaran keluhannya, misalkan batuk, apakah menggonggong?

§ Trigger : mencakup penyakit atau kondisi yang mendahului atau factor yang memberatkan atau meringankan keluhan, bisa saja berupa debu, obat-obatan berupa bronkodilator dsb

§ Gejala yang menyertai keluhan seperti mengik, panas dsb

Riwayat Kesehatan yang Lalu

Meliputi penyakit, operasi, perawatan RS sebelumnya

kapan yang terakhir?

Misal:

pernah campak berat àbronkiektasi

Alergi berulang à asma

Pengobatan yang Lalu

a. Pengobatan untuk penyakit sekunder?

b. Pengobatan atau hasil penyakit yang lalu?

Misal :

eksaserbasi Asma sekarang tidak reda dengan salbutamol, eksaserbasi yang lalu responsive terhadap aminophylin à obat sekarang

Riwayat Penyakit atau Kesehatan Keluarga

Bentuk berulang dengan riwayat kakek asmaà mungkin pasien mengidap asma juga

Riwayat imunisasi

DTP mencegah batuk karena pertussis dan atau diphtheria

Pneumonia pada anak yang sudah divaksinasi HIB mungkin penyebabnya oleh pneumococcal

Keadaan Lingkungan Perumahan :

Binatang piaraan dapat menjadi trigger bentuk asma, penyebar etiologi, avian flu, dst

PHYSICAL DIAGNOSIS

Physical examination/physical diagnostic/pemeriksaan fisik/

1. Perkenalkan diri dulu bila belum

2. Cuci tangan sebelum dan sesudahnya

3. Jelaskan tujuan dari pemeriksaan dan apa yang harus dilakukan oleh pasien dan pengantar

4. Iringi setiap gerakan dengan komentar lisan

5. Pemeriksaan sebaiknya dilaksanakan dengan anak tanpa pakaian

6. Seperti umumnya pemeriksaan dimulai dari inspects, palpasi, perkusi dan auskultasi

Inspeksi :

- Kesan pemeriksa : apakah pasien tampak sakit ringan sedang atau berat

- Tidak selalu sesuai dengan berat - ringannya / prognosa penyakit (influenza) bisa tampak berat, sebaliknya leukemia bisa tampak sakit ringan

- Kulit : pucat, sianosis

- Status gizi : cachexia, atau overweight

- Respirasi : frekuensi / menit , dihitung 3x setiap 1 menit penuh dengan timer, atau dengan arloji oleh orang lain

- Retracts epigastria, intercostals, suprasternal, gerakan dagu

- Pola pernafasan : Kussmaul, Biot, Cheyne stokes, Bernafas dengan mulut terbuka (pursed lip breathing)

- Bentuk dan gerakan dada : symmetric, “barrel chest”, pigeon chest, funnel chest, scoliosis, kyposis

- Jari tabuh atau clubbing finger pada bronkiektasi, penyakit jantung

- Tremor pada ujujng jari akibat efek samping beta agonist dlsb

Palpasi :

Mencari letak trachea dengan meletakkan jari manis diatas trachea (simetris atau ada deviasi ke kiri atau ke kanan)

Pembesaran kelenjar lymph di depan M. strenocleidomastoideus kiri dan kanan perhatikan konsistensi, diameter dan perlekatan

Palpasi dada :

Dengan meletakan kedua belah tangan (kiri dan kanan) bagian palmar pada dada depan kemudian pada bagian belakang, kita bisa mencocokan hasil inspeksi tentang bentuk dan gerakan dari dinding dada

Dengan meletakkan bagian palmar tangan kiri atau kanan kita dapat menentukan apex cordis

Tactile vocal fremitus ditentukan dengan meletakkan bagian yang ceper (datar) dari tangan kiri dan kanan dengan menyuruh pasien mengucapkan “Sembilan puluh Sembilan”, atau menangis

Perkusi :

3412809065_8c45a0f1ea.jpg

3412809129_d1b022f352.jpg

Dengan satu jari atau 2 tangan.

Suara yang mungkin dihasilkan : sonor, hipersonor, dullness, atau flatness

Hipersonor pada emfisema, asma

Tympani pada pneumothorax, abses paru besar

Dullness pada pneumonia lobaris

Flatness pada effusi pleura


Auskultasi :

Suara pernafasan :

Vesicular breath sound (VBS)

Bronchial Breathe Sounds (BBS)

ada gap diantara inspirasi dan ekspirasiyang berdurasi sama terdengar kasar penuh normal bila terdengar di tip scapula, ditempat lain bisa terdengar akibat konsolidasi (pneumonia) abses.

Suara tidak terdengar pada emfisema, bullae, pneumothoraks, efusi pleura.

Angina Pektoris

By : RIO

Angina pektoris adalah keadaan penderita Penyakit Jantung

Koroner dengan keluhan nyeri dada (di daerah sternal dan

precordial yang disebabkan karena gangguan peredaran darah

koroner sehingga pada suatu saat atau pada keadaan tertentu

tidak mencukupi keperluan metabolisme miokard karena

meningkatnya kebutuhan oksigen dan bila kebutuhan oksigen

tersebut, menurun kembali maka keluhan nyeri dada tersebut

akan hilang.

Dari segi sejarah Ilmu Kedokteran ada baiknya dicatat disini

bahwa : Angina pektoris telah dikenal dan telah digambarkan

oleh Dr. William Heberden sejak lebih dari 200 tahun yang lalu

(tahun 1768) sebagai berikut :

“There is a disorder of the breast, marked with strong and

peculiar symptoms, considerable for the kind of danger belonging

to it, and not extremely rare. The seat of it, and sense

of strangling and anxiety with which it is attended, may make it

not improperly be called Angina Pectoris.

Those who are afflicted with it are seized, while they are walking,

and more particularly when they walk soon after eating,

with a painful and, most disagreeable sensation in the breast,

which seems as if it would take their life away, if it were to

increase or to continue : the moment they stand still all this

uneasiness vanishes. In all other respects, the patients are, at

the beginning of this disorder, perfectly well, and in particular

have no shortness of breath, from which it is totaly different

and it will come on, not only when the persons are walking but

when they are lying down, and oblige them to rise up out of

their beds every night for many months togeher: and in one or

two very inveterbrate cases it has been brought on … even by

swallowing, coughing, going to stool, or speaking, or by any

disturbance of mind …_ this complaint was greatest in winter;

another, that it was aggravated by warm weather … “

Dari catatan sejarah ini ternyata pengertian angina pektoris

dalam kurun waktu lebih dari 2 abad tidak banyak berbeda.

Pada masa kini dasar pengertian dari angina pektoris lebih

mendapat uraian yang luas dan mendalam.

Angina pektoris dapat merupakan manifestasi klinis yang

awal dari penyakit iskemia jantung yang sebagian besar disebabkan

karena gangguan pada sirkulasi koroner akibat atherosclerosis

pada arteria koronaria sehingga suplai darah yang

membawa oksigen dan metabolit ke dalam miokard sewaktuwaktu

tidak mencukupi keperluan metabolisme miokard yang

berubah-ubah.

Angina pektoris dapat diartikan sebagai manifestasi klinis dari

tidak adanya keseimbangan antara suplai dan keperluan aliran

darah koroner ke dalam miokard, keadaan ini dapat disebabkan

karena :

1. suplai yang berkurang karena hambatan aliran darah koroner

(sclerosis arteri koronaria, spasme arteri koronaria);

2. kebutuhan akan aliran darah koroner meningkat karena beban

kerja jantung lebih berat (misalnya pada aortic stenosis).

Dalam beberapa keadaan yang jarang terjadi, Angina pectoris

dapat terjadi tanpa ada kelainan dari arteri koronaria (angina

pectoris dengan arteri koronaria yang normal).

Iskemia miokard akan terjadi bila kebutuhan oksigen melampaui

suplai oksigen. Bila suplai 02 pada miokard mencukupi

kebutuhan 02 untuk metabolisme maka fungsi miokard akan

normal.

A). Faktor-faktor yang turut menentukan besarnya kebutuhan 02

miokard :

1. frekuensi denyut jantung per menit.

2. tegangan dinding ventrikel (berbanding langsung dengan

radius ventrikel dan tekanan sistolik dalam ventrikel,

akan tetapi berbanding terbalik dengan tebalnya dinding

ventrikel).

3. kekuatan kontraksi dari ventrikel (contractility).

B). Suplai 02 tergantung juga dari aliran darah koroner yang

mana aliran ini juga ditentukan oleh faktor-faktor :

1. tahanan vaskular dalam pembuluh darah koroner

2. diameter dari lumen arteri koronaria bagian proksimal

3. perbedaan antara tekanan diastolis sistemik dan tekanan

akhir diastolis dalam ventrikel.

4. frekuensi dari denyut jantung per menit

5. kadar oksigen dalam darah arteri koronaria (yang juga

tergantung dari kadar haemoglobin darah, saturasi

oksigen darah).

Diagnosis angina pektoris terutama berdasarkan pada anamnesa

yang dapat memberi data informasi tentang keluhan dari

sipenderita dengan penyakit jantung koroner. Informasi yang

penting dalam anamnesa harus meliputi :

1. Lokasi dari perasaan nyeri. Sedapat mungkin anamnesa dapat

memberi gambaran lokasi tertentu dari perasaan nyeridada

serta penjalaran dari rasa nyeri tersebut. Lokasi yang khas

dari nyeri dada pada angina pektoris adalah di daerah stern

al/mid sternal atau di daerah precordial. Kadang-kadang juga

rasa nyeri tersebut melintang di bagian dada tengah kekiri

dan kekanan. Rasa nyeri dada tersebut seringkali menjalar

melalui bahu kiri, turun ke lengan kiri di bagian ulnar sampai

ke daerah pergelangan tangan.

2. Karakteristik dan rasa nyeri perlu diperhatikan. Tiap penderita

dengan angina mungkin sekali akan melukiskan rasa nyeri

dengan ungkapan yang berbeda-beda secara subyektif,

misalnya perasaan nyeri dan berat di dada atau perasaan dada

seperti ditekan atau seperti dihimpit dan sebagainya.

3. Mulai dan saat waktu timbulnya perasaan nyeri dada tersebut

serta pencetus timbulnya nyeri dada perlu diungkapkan.

Misalnya seringkali nyeri dada timbul waktu sedang

melakukan kerja fisik tertentu, atau keadaan emosionil.

Kadang-kadang nyeri dada tercetus sesudah makan banyak.

Nyeri dada pada angina pektoris lebih mudah timbul pada

cuaca dingin.

4. Lama dan beratnya rasa nyeri dada perlu juga diketahui untuk

menilai berat ringannya dan perkembangan dari gangguan

sirkulasi koroner serta akibatnya.

5. Keadaan yang memberatkan rasa nyeri, misalnya kurangnya

istirahat atau keadaan yang sangat letih, iklim dan cuaca

dingin kadang-kadang terungkapkan dalam anamnesa.

6. Keadaan-keadaan yang dapat menghentikan perasaan nyeri

dada tersebut misalnya dengan istirahat, rasa nyeri hilang

dengan spontan atau rasa nyeri hilang juga bila ia mengisap

tablet nitro-glycerine di bawah lidah.

7. Tanda-tanda keluhan lain yang menyertai keluhan-keluhan

nyeri dada, misalnya: lemas-lemas dan keringat dingin,

perasaan tidak enak dan lain-lain, perlu mendapat perhatian

dalam anamnesa, karena hal-hal keadaan ini turut menggambarkan

berat ringannya gangguan pada sistim kardiovaskuler.

Sebagian besar penderita dengan angina pektoris datang pada

keadaan di luar serangan dimana keluhan-keluhan nyeri dada

tidak ada, dan sipenderita tampak dalam keadaan umum yang

baik. Dalam hal ini bila dari anamnesa terdapat stigmata dan

data-data yang mengungkapkan kemungkinan adanya angina

pektoris maka dapatlah diusahakan test provokasi untuk memas-

4 Cermin Dania Kedokteran No. 31

tikan adanya sesuatu serangan angina pektoris dengan beban

kerja (exercise induced myocardiac ischaemic pain). Standard

exercise stress test dapat menyebabkan timbulnya serangan

angina atau gejala-gejala yang sejenis lain, misalnya: gangguan

irama jantung (cardiac arrhythmia). Double master test, treadmill

test atau stationary bicycle test cukup baik untuk keperluan

diagnosa angina pektoris.

Perubahan EKG yang berupa depresi segmen S—T sebesar

0.5—1 mm atau lebih pada waktu atau segera sesudah melakukan

test exercise tersebut menunjukkan adanya iskemia subendocardiac.

Dalam keadaan istirahat penuh, EKG tampak selalu

normal kembali (kecuali penderita yang pernah mendapat

serangan infark jantung). Elevasi segmen ST dapat disebabkan

oleh adanya iskemia transmural pada miokard. Angina pektoris

sebagai sindroma Minis dapat terjadi dalam tipe stable dan tipe

unstable (stable angina pectoris and unstable angina pectoris).

Stable angina pectoris menunjukkan adanya keluhan angina

pektoris dengan pola yang tetap sama pada tingkat kerja fisik

tertentu sehingga biasanya dapat diduga kapan dan pada waktu

bagaimana serangan angina pektoris tersebut, akan timbul dan

akan hilang kembali. Sedangkan unstable angina pektoris

menggambarkan keadaan nyeri dada dengan pola keluhan yang

makin lama makin berat dan bahkan mungkin menjurus pada

angina pektoris yang timbul pada waktu kerja minimal atau pada

waktu istirahat dan mungkin memerrukan tablet nitroglycerin

makin banyak untuk menghilangkan serangan angina pektoris.

Penderita dengan unstable angina mempunyai risiko yang lebih

besar untuk terjadinya infark miokard.

Pemeriksaan fisik pada penderita dengan angina pektoris

diluar serangan hampir selalu tidak ditemukan kelainan-kelainan

fisik. Pada waktu serangan nyeri dada mungkin dapat ditemukan

adanya bunyi jantung ke—4 (S4) yang akan menandakan

adanya gangguan dari daya pompa dari ventrikel kiri.

Elektrokardiogram diluar serangan angina pektoris seringkali

menggambarkan EKG yang normal, kecuali pada penderita

yang pernah mempunyai riwayat infark miokard yang sudah

lama. Pada umumnya perubahan EKG yang terjadi pada waktu

serangan (bila penderita dimonitor EKG) akan tampak adanya

depresi segmen ST dan perubahan tersebut, akan hilang lagi

serta EKG menjadi normal sesudah meredanya keluhan angina

pektoris.

Kira-kira 60—80% penderita dengan penyakit jantung koroner

menunjukkan perubahan-perubahan tersebut, diatas pada

bicycle exercise atau treadmill test yang maximal.

Pemeriksaan rontgen dada tidak menunjukkan kelainan khas

angina pektoris, baik pada waktu serangan ataupun di luar

serangan.

Pemeriksaan kadar serum transaminase (SGPT, LDH, CPKtotal

dan CK—MB) tidak mengalami perubahan pada angina

pektoris.

Echo-kardiografi jarang sekali dapat menggambarkan kelainan

yangberkenaan dengan serangan angina pektoris, hanya

kadang-kadang pada serangan angina pektoris dapat ditemukan

adanya tanda-tanda berkurangnya kontraktilitas dari bagian

miokard yang iskemia ataupun mungkin juga dapat dilihat

Cermin Dania Kedokteran No. 31 5

bahwa gerakan terbukanya daun katup mitral anterior lebih

lambat yang menandakan adanya gangguan pada kontraksi

ventrikel kiri.

Pemeriksaan penyadapan jantung (cardiac catherizarion)

untuk menilai keadaan hemodinamik pada waktu serangan

angina pektoris dapat menunjukkan kenaikan tekanan akhir

diatolik dari ventrikel kin yang juga menunjukkan adanya

gangguan pada kontraktilitas ventrikel kiri.

Demildan pula dengan mengukur kadar asam laktat dan

asam pirurat dalam darah yang disadap dari sinus coronarius

akan menunjukkan kadar yang meninggi, dan keadaan ini

menunjukkan pula meningkatnya metabolisme anerobik dalam

miokard yang sering terjadi pada miokard yang mengalami

keadaan anoxia.

Gambaran ventrikulografi dari ventrikel kiri waktu serangan

angina pektoris mungkin pula dapat menunjukkan adanya bagian

dari dinding ventrikel yang mengalami hambatan pada kontraksi

pada waktu sistole.

Angiografi koroner dapat menunjukkan adanya penyempitan

pada lumen arteri koronaria bagian proximal yang cukup

bermakna (lebih dari 50%) pada penderita angina pektoris. Pada

beberapa penderita angina pektoris seringkali didapat gambaran

angiografi koroner yang masih normal walaupun exercise test

menunjukkan respons iskemia yang positif. Sebagian dari kasus

angina pektoris tipe Prinzmetal seringkali tidak menunjukkan

kelainan pada angiografi koroner, dalam hal ini gangguan

sirkulasi koroner disebabkan semata-mata oleh spasme arteri

koronaria.

Pemeriksaan dengan radionuclide (isotop thallium) exercise

test mempunyai gambaran specifisitas dan sensitivitas yang lebih

baik, dengan demikian scintigraphy sesudah exercise test pada

penderita dengan angina pektoris akan menunjukkan bagianbagian

miokard yang tidak menyerap isotop yang juga

menunjukkan bagian-bagian miokard yang terkena keadaan

iskemia.

Diagnosa angina pektoris dapat ditujukan pada :

1. Penderita dengan usia di atas 50 tahun dengan keluhan nyeri

dada yang khas untuk angina pektoris dan disertai sekurangkurangnya

satu faktor risiko utama untuk penyakit jantung

koroner (merokok, hypertensi, hypercholesterolemia, diabetes

mellitus, anamnesa famili yang nyata, adanya penyakit

jantung koroner dalam keluarga ) dan nyeri dada hilang

dengan pemberian obat preparat nitro.

2. Penderita dengan angina pektoris yang khas disertai sekurangkurangnya

satu faktor risiko utama, dan menunjukkan hasil

exercise test yang positif, disamping itu pula keluhan nyeri

dada sembuh dengan obat preparat nitroglycerine.

3. Penderita dengan keluhan nyeri dada yang tidak khas (atypical

chestpain) yang menunjukkan hasil positif pada exercise test

dan pada angiografi menggambarkan adanya penyempitan

lebih dari 50% dari diameter lumen dari salah satu cabang

utama arteri koronaria (arteria koronaria kanan, arteria

koronaria kiri dengan cabang-cabangnya art. descendence

anterior kiri dan art. circumflex kiri).

4. Penderita dengan angina yang berat (unstable angina)

yang timbul pada kerja fisik yang ringan tidak boleh dilakukan

programmed exercise test. Diagnosa angina pektoris

dalam kasus ini, didasarkan pada anamnesa yang khas,

EKG dengan depresi segmen S—T pada serangan angina, dan

rasa nyeri dada dapat dicegah atau hilang dengan obatobat

nitrate.

5. Penderita dengan riwayat angina yang khas yang dapat

dikurangi nyeri dadanya dengan obat-obat nitrat dan pada

arteriografi koroner menunjukkan adanya penyempitan

lebih dari 50% pada salah satu arteria koronaria utama.

(Catatan: pada angina pektoris tidak/belum ada kenaikan

dari kadar enzim-enzim CK—total, CK—BM, LDH dan

SGOT).

Gambaran penderita dengan keluhan nyeri dada dengan tangan kiri yang

digenggamkan diatas daerah sternal.

Diagnose diferensial dari angina pektoris :

Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan keluhan nyeri

dada selain dari penyakit jantung koroner adalah :

— nyeri yang berasal dari otot dinding thorax (neuromusculardisorders)

— Costo chondritis pada dinding dada (sindroma Tietze)

— Splenic-flexure syndrome

— fraktur tulang rusuk

— herpes zoster

— aneurysma aorta disectans

— pleuro pneumonia

— etelectosis

— pneumo thorax spontan

— emboli paru-paru

— malignancy pada paru-paru

— pericarditis

— prolaps katup mitral

— hypertensi pulmonal

— cardiomyopathia

— idiopathic hypertrophic subaortic stenosis

— stenosis katup aorta

— spasme oesophagus atau spasme cardia lambung

— hernia hiatus

— ulcus pepticum yang actif

— cholecystitis

— pancreatitis

— abses subdiaphragmatic

— kekhawatiran yang psychogenic (cardiac neurosis).

Pengobatan Angina Pektoris.

Pada serangan angina dapat diberikan tablet nitroglycerine

5 mg subligual untuk diisap di bawah lidah. Dapat jugs

dipertimbangkan pemakaian obat secara ini untuk profilaksis

terhadap serangan bila pada keadaan tertentu dapat diduga

bahwa serangan angina akan timbul. Dengan demikian

dianjurkan pad a penderita dengan angina pektoris agar selalu

membawa tablet nitroglycerine sublingual.

Faktor-faktor yang memberatkan kerja jantung (meningkatkan

kebutuhan oksigen miokard), sedapat mungkin harus

dihindari dan bila mungkin diperbaiki, misalnya hipertensi,

obesitas dan kerja fisik yang berat serta emosi yang berlebihlebihan.

Bila serangan angina pektoris mempunyai pola yang kurang

lebih menetap dalam pekerjaan sehari-hari, maka dapat diberikan

preparat nitroglycerin yang berdaya kerja dalam waktu

yang lama (long acting) sebagai pemberian obat yang dipertahankan

sehari-hari. Untuk ini isosorbide dinitrate tablet 10 mg

diberikan 3 & 4 kali sehari, seringkali cukup memadai maksud

tersebut. Disamping itu dapat pula ditambahkan obat-obatan

beta -blocker yang dapat menurunkan kebutuhan oksigen

miokard.

Dalam hal ini propanolol tablet 10 mg 3 kali sehari dapat dicoba

bila tidak ada kontra indikasi (gagal jantung, astma

bronchial, heart block grade 2 dan grade 3).

Baru-baru ini dikembangkan juga pemakaian salep nitroglycerine

dalam jumlah tertentu yang diserapkan pada kulit

dapat memenuhi keperluan obat-obat nitro sehari-hari. Latihan

fisik atau olahraga dengan bimbingan tertentu yang disesuaikan

dengan keadaan sipenderita dianjurkan untuk mencapai

keadaan optimal dari sistem kardiovaskuler dalam arti

bahwa kerja jantung menjadi lebih efisien.

Perhatian dalam pengobatan angina pektoris harus juga

ditujukan pada pola perkembangan keluhan-keluhan angina.

Bila keluhan angina menjadi progresif dalam frekuensi dan

beratnya serangan atau serangan angina timbul pada keadaan

istirahat, maka pengobatan harus lebih intensif dengan maksud

untuk sedapat mungkin mencegah terjadinya iskemia yang lebih

berat yang mungkin berlanjut akan menjadi infark miokard.

Bila keadaan ternyata bertambah buruk di monitor EKGnya dan

dilakukan pengukuran kadar enzim (SGOT LDH, CPK, dan

CK—MB) yang dilakukan berturut-turut dalam hari-hari

pertama perawatan. Penderita harus istirahat di tempat tidur

dan diberikan obat-obat sedatif dan bila perlu obat-obat

analgesik. Obat-obat beta -blocker dalam infark miokard akut

diragukan manfaatnya, bahkan mungkin perlu dihentikan

pemberiannya untuk sementara selama fase akut.

Tentang pemakaian obat antikoagulan pada unstable angina

belum ada data laporan penyelidikan yang menunjukkan bahwa

obat-obat tersebut dapat memberi manfaat yang cukup

bermakna. Pada penderita yang belum lama mendapat serangan

post infark miokard (kurang dari 1 atau 2 bulan yang lalu)

dengan timbulnya keluhan unstable angina, pemberian obat antikoagulan

boleh dipertimbangkan walaupun belum pasti

hasilnya.

Perhatian pada akhir-akhir ini banyak ditujukan pada faktor

spasme arteria koronaria vasospasme yang dapat menimbulkan

keluhan angina, walaupun pada keadaan istirahat. Pada

penderita dengan PJK ataupun pada penderita dengan

pembuluh arteria koronaria yang masih baik, dalam hal terse-but

diatas, Calsium antagonist dapat bermanfaat pada vasospastic -

unstable-angina-pektoris. Penderita yang telah diberikan

pengobatan seperlunya, akan tetapi masih juga menderita angina

sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan angiografi koroner

untuk menentukan apakah ada indikasi untuk tindakan operatif

(coroner artery bypass surgery). Ella ternyata terdapat

penyempitan yang cukup berarti (70%) pada dua atau lebih

arteri koronaria yang utama atau pada percabangannya yang

proksimal dari salah satu dari kedua arteria koronaria utama

tersebut, maka tindakan operatif seringkali dapat menghilangkan

keluhan-keluhan angina.

INFARK MYOKARD ACUTE (IMA)

By : RIO

DEFINISI
Infark myokard adalah suatu keadaan nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. Gambaran distribusi dipengaruhi umur, geografis, jenis kelamin dan faktor resiko sesuai dengan angina pektoris atau penyakit jantung koroner pada umumnya.

PATOGENESIS
Umumnya Infark Miokard didasari oleh adanya arteriosklerosis pembuluh darah koroner. Secara marfologis Infark Miokard dapat berupa transmural atau sub endokardial. Infark Miokard transmural mengenai seluruh dinding miokard dan terjadi pada distribusi suatu arteri koroner. Sebaliknya pada Infark Miokard subendokardial, nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berbercak-bercak dan tidak konfluens seperti Infark Miokard transmural


. Infark Miokard subendokardial dapat regional (terjadi pada distribusi satu-satu arteri koronaria) atau difus (terjadi pada distribusi lebih dari satu arteri koroner). Patogenitas dan perjalanan kedua jenis Infark Miokard ini berbeda.

PATOLOGI
Arteri koroner kiri mempengaruhi sebagian besar ventrikel kiri, septum dan atrium kiri. Arteri koroner kanan mempengaruhi sisi diafragma ventrikel kiri, sedikit bagian posterior septum dan ventrikel serta atrium kanan. Nodus SA lebih sering dipengaruhi oleh arteri koroner kanan daripada kiri (cabang sirkumfleks). Pada nodus AV, 90% dipengaruhi oleh arteri koroner kanan dan 10% dari sisi kiri cabang sirkumfleks. Kedua nodus SA dan AV juga mendapat darah dari arteri kugel. Jadi jelaslah obstruksi pada arteri koroner kiri sering menyebabkan infark anterior, dan infark inferior disebabkan oleh obstruksi pada arteri koroner kanan. Tetapi bila obstruksi telah terjadi di banyak tempat dan kolateral telah terbentuk, lokasi infark mungkin tidak dapat dicerminkan oleh pembuluh asal yang terkena. Pada nekrosis daerah infark miokard mungkin sulit dikenali pada 24 – 48 jam pertama. Setelah itu serat-serat miokard membengkak dan nuklei menghilang. Di tepi infark dapat terlihat perdarahan. Dalam beberapa hari pertama daerah infark akut amat lemah. Secara histologis penyembuhan dapat tercapai sekurang-kurangnya setelah empat minggu, umumnya setelah enam minggu.

PATOFISIOLOGIS
Segera setelah terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sitolik (diskinesia) dengan akibat menurunnya ejeksi fraction, isi sekuncup, dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik disekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengdakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsang adrenergik untuk mempertahankan curah jantung tetapi dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak memadai jika daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang kompensasi masih normal maka pemburukan hemodinamik akan minimal. Sebaliknya jika infark luas dan miokard yang harus berkompensasi juga buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik akan naik dan gagal jantung terjadi.

Perubahan-perubahan hemodinamik Infark Miokard ini tidak statis. Bila Infark Miokard makin tenang fungsi jantung membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan daerah-daerah yang tadi iskemik mengalami perbaikan. Perubahan hemodinamik akan terjadi bila iskemik berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya mekanis penyulit seperti rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung.

Aritmia merupakan penyulit Infark Miokard yang tersering dan terjadi pada saat pertama serangan. Hal ini disebabkan karena perubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan terhadap terjadinya aritmia. Penderita Infark Miokard umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat. Sedangkan peningkatan tonus simpatis pada Infark Miokard anterior akan mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark.

GEJALA KLINIS
Khas adalah nyeri dada retroternal, seperti diremas-remas dan tertekan, nyeri menjalar ke lengan, (kiri) bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pektoris dan tidak responsif terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang terutama pada penderita diabetik dan orantua tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri disertai perasaan mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar-debar, atau penderita sering ketakutan.

Walaupun Infark Miokard merupakan manifestasi pertama dari penyakit jantung koroner, namun bila anamnesa dilakukan secara teliti sering didahului oleh angina, perasaan tidak enak di dada atau epigastrium.

Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada berkarakteristik khas dan bahkan dapat normal. Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal irama gallop. Adanya krepitasi basal merupakan tanda bendungan paru. Takikardi, kulit pecah, dingin dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba di dinding pada Infark Miokard anterior.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG
2. Laboratorium : SGOT, LDH, enzim jantung
3. Radiologi
4. Echocardiografi
5. Pemeriksaan radioisotop

KOMPLIKASI
1. Aritmia
2. Gagal jantung
3. Syok kardiogenik
4. Trombo-embolisme
5. Perikarditis
6. Aneurisma ventrikel
7. Regurgitasi mitral akut
8. Ruptur jantung dan septum

PENATALAKSANAAN
1. Upaya pembatasan perluasan Infark Miokard
2. Pemberian obat-obat trombolitik (streptokinase/urokinase) dengan atau tanpa disusul angioplasti (perkutaneus transluminal koroner angioplasty)
3. Pemberian obat penghambat adrenoreseptor-beta untuk pencegahan sekunder pasca infark.

PENGKAJIAN
a. Aktifitas dan istirahat
Kelemahan, susah tidur, lelah, tachicardi, sesak nafas
b. Sirkulasi
Riwayat miokard infark, penyakit koroner, CHF, masalah tekanan darah, DM
Nadi : penuh, kualitas, capillary refill, ireguler. Suara jantung : murmur, friction rub. Ritme jantung.
Adanya edema, peningkatan tekanan vena jugularis, cyanosis, pucat.
c. Integritas Ego
Cemas, takut, gelisah, takut kehilangan keluarga
d. Cairan dan makanan
Mual, tidak ada nafsu makan, turgor jelek, muntah, perubahan berat badan.
e. Higiene
Kesulitan dalam perawatan kulit
f. Neurosensori
Kelemahan, tidak terkontrol
g. Nyeri
Kejadian, lokasi, kualitas, intensitas
h. Respirasi
Sulit bernafas, sesak, batuk produktif, riwayat merokok, penyakit pernafasan, pucat, cyanosis, suara nafas, adanya sputum.